SEKATOJAMBI.COM, SAROLANGUN – Kabupaten Sarolangun genap berusia 26 tahun. Di usia lebih dari seperempat abad ini, daerah yang lahir dari pemekaran Sarolangun Bangko pada 1999 itu kembali merayakan hari jadinya, Sabtu (12/10/2025).
Namun di balik perayaan dan tamu-tamu penting yang hadir, warga bertanya: apa saja capaian konkret dan tantangan besar yang masih belum tersentuh?
Peringatan HUT ke-26 dipusatkan di Gedung DPRD Sarolangun. Gubernur Jambi Al Haris bersama istri, Hesnidar Haris, hadir langsung di lokasi, disambut oleh Bupati Hurmin dan Wakil Bupati Gerry Trisatwika.
Acara juga dihadiri tokoh-tokoh nasional asal Jambi seperti Cek Endra, Edi Purwanto, Elpina, Elviana, dan Abu Bakar Jamalia. Tampak pula kepala daerah se-Provinsi Jambi turut menyaksikan jalannya paripurna.
Namun di luar ruang sidang, masyarakat masih dihadapkan pada realita klasik: ketimpangan pembangunan desa-kota, infrastruktur yang belum merata, dan lambannya pembukaan akses layanan dasar di kawasan pedalaman.
Gubernur Al Haris dalam sambutannya tidak sekadar mengucapkan selamat. Ia menekankan pentingnya menjadikan momen ulang tahun ini sebagai titik evaluasi. Menurutnya, Sarolangun punya potensi besar, tapi belum semuanya tergarap maksimal.
“Usia 26 tahun harus jadi momen konsolidasi pembangunan, bukan hanya perayaan simbolik. Masyarakat butuh hasil, bukan hanya pidato,” tegasnya.
Harapan pembangunan yang merata dari pinggiran ke pusat masih jadi pekerjaan rumah utama. Sektor seperti jalan penghubung antar kecamatan, pelayanan kesehatan primer, hingga peningkatan kualitas pendidikan dasar dinilai masih jauh dari ideal.
Bupati Sarolangun Hurmin dalam pidatonya menyebutkan, sinergi semua pihak penting untuk mempercepat capaian pembangunan. Namun, warga berharap agar pembangunan tidak hanya fokus pada proyek fisik, tetapi juga pada pemberdayaan ekonomi masyarakat yang selama ini masih tertinggal.
“Angka kemiskinan masih ada. Lapangan kerja masih terbatas. Jangan sampai usia bertambah, tapi yang miskin makin banyak,” ujar Edi, warga dari Kecamatan Pauh.
Pengamat lokal menyebut, usia 26 tahun harus menjadi pintu pembaruan kebijakan. Alih-alih menggelar acara yang menguras anggaran, pemerintah daerah didorong membuat evaluasi jujur atas capaian dan kegagalan yang terjadi selama dua dekade lebih.
“Kalau mau membangun daerah, ukurannya bukan jumlah tamu yang hadir saat ulang tahun. Tapi seberapa jauh pelayanan dasar menyentuh rakyat di desa-desa,” kata Hamzah, akademisi dari Sarolangun.
Warga menyoroti sejumlah persoalan yang belum kunjung tuntas. Diantaranya jalan penghubung antar kecamatan rusak di musim hujan. Keterbatasan guru dan tenaga kesehatan di daerah terpencil. Minimnya program pengembangan UMKM, dan isu lingkungan hidup dan konflik lahan yang masih berulang.
Sarolangun tidak lagi bisa berbangga hanya dengan usia. Masyarakat kini menuntut arah yang jelas, bagaimana pemda bekerja menyelesaikan masalah struktural yang selama ini menjadi penghambat kemajuan.
Tanpa keberpihakan nyata pada rakyat kecil, usia 26 tahun hanya akan menjadi catatan administratif — bukan tonggak perubahan.