SEKATOJAMBI.COM, JAMBI – Seorang remaja perempuan berusia 17 tahun di Kota Jambi menjadi korban dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) untuk eksploitasi seksual yang didalangi oleh anggota keluarganya sendiri. Sang ibu, TW (35), telah melaporkan kejadian yang menyebabkan anaknya mengalami trauma berat tersebut ke Polda Jambi lebih dari sebulan lalu, namun hingga kini para pelaku masih berkeliaran dan belum ditangkap aparat kepolisian.
TW, ibu kandung korban berinisial KPR (17), secara resmi melaporkan adik kandungnya sendiri, WPS, dan seorang pria berinisial RC, ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polda Jambi pada Rabu, 8 Oktober 2025. Laporan dengan Nomor LP/B/337/X/2025/SPKT/POLDA JAMBI itu mengungkap kejadian pahit yang dialami putrinya pada 6 Desember 2024 sekitar pukul 19.00 WIB, di kawasan Jaluko, Mendalo Darat, Kabupaten Muaro Jambi.
“Sampai sekarang pelaku belum ditangkap. Semua bukti sudah kami serahkan, termasuk visum dan hasil psikolog serta psikiater,” ujar TW dengan suara lirih saat dikonfirmasi via telepon WhatsApp, Senin (17/11/2025). Harapannya hanya satu: para pelaku segera ditangkap dan diproses hukum, sementara anaknya masih terus berjuang melawan trauma berat yang diderita.
Menurut pengakuan TW, perubahan drastis pada diri KPR mulai terlihat beberapa bulan sebelum laporan polisi dibuat. Perilaku remaja itu berubah; ia menjadi mudah panik, kerap memegangi kepala dan tangannya sendiri, serta menunjukkan reaksi berlebihan saat ditegur. Kekhawatiran TW memuncak hingga akhirnya ia membawa KPR untuk menjalani pemeriksaan psikologis.
Hasil pemeriksaan itu mengonfirmasi kekhawatiran terburuknya. KPR didiagnosis mengalami indikasi trauma berat. Kondisi ini memaksa korban untuk dirujuk ke psikiater dan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) untuk mendapatkan penanganan lebih intensif. Untuk meredakan kecemasan hebat yang menghantuinya, KPR bahkan mengaku pernah mengonsumsi obat pereda nyeri hingga lima tablet dalam sehari. “Anak saya sampai sekarang masih menjalani pendampingan psikologis dan psikiatris karena trauma berat,” tutur TW.
Keberanian KPR untuk membongkar penyebab traumanya baru muncul setelah ia mendapatkan pendampingan profesional yang konsisten. Dalam pengakuannya, korban menceritakan bahwa pada hari kejadian, ia dijemput oleh tantenya yang berinisial L dengan dalih diajak nongkrong ke sebuah kafe. Namun, alih-alih dibawa ke kafe, KPR justru dibawa ke sebuah rumah.
Di rumah itu, nasib naas menimpanya. KPR dipaksa masuk ke dalam sebuah kamar bersama seorang pria. Dengan brutal, korban dilaporkan diikat, bajunya dibuka secara paksa, dan kemudian menjadi korban tindakan asusila. Modus operandi ini mengarah pada praktik perdagangan orang untuk tujuan eksploitasi seksual.
Meski seluruh bukti medis dan psikologis telah diserahkan kepada penyidik, langkah hukum untuk menangkap WPS dan RC seakan masih terhambat. Ketidakpastian penanganan kasus ini semakin memperpanjang penderitaan korban dan keluarga. TW pun terus mendesak pihak Kepolisian Daerah Jambi untuk segera bertindak dan menangkap para pelaku, memberikan keadilan bagi KPR yang hidupnya telah tercabik-cik oleh orang yang seharusnya melindunginya.


























