Oleh: Noly Wiyaya
Mahasiswa Program Studi Doktoral Ilmu Hukum Universitas Jambi
Generasi Mendatang
Terancam Tragedi banjir bandang dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, serta Sumatera Barat pada akhir 2025 bukan sekadar musibah alam, melainkan konsekuensi dari kelalaian struktural dalam pengelolaan lingkungan.
Deforestasi seluas 1,4 juta hektare akibat tambang ilegal dan perkebunan sawit telah merusak daerah aliran sungai (DAS), memicu bencana yang menewaskan ratusan jiwa dan mengungsi ribuan warga.
Ini adalah pelanggaran nyata terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), yang mewajibkan negara mencegah kerusakan ekologis dan menjamin hak keberlanjutan generasi mendatang sebagaimana diamanatkan Pasal 28H UUD 1945.
Penegakan hukum saat ini masih lemah. Meski Satgas Penertiban Kawasan Hutan sudah ada, aksi nyata seperti pencabutan izin dan tuntutan pidana terhadap perusahaan pelaku masih minim.
Kasus serupa di Sihotang dan Simangulampe tahun 2023 menunjukkan pola berulang tanpa efek jera. Negara harus bertanggung jawab atas “legalisasi bencana ekologis” ini, sebagaimana dikritik WALHI, di mana kebijakan perizinan justru memfasilitasi eksploitasi alam demi kepentingan segelintir elite.
Hak keberlanjutan bukan sekadar retorika; ia adalah hak asasi yang tergerus ketika hutan lindung diubah menjadi lahan ekstraktif.
Pemerintah harus segera menetapkan status darurat nasional untuk membuka akses kompensasi korban, melakukan audit independen terhadap izin usaha, dan menerapkan moratorium ketat terhadap aktivitas destruktif. Tanpa penegakan hukum yang transformatif, bencana Sumatera akan menjadi warisan kehancuran bagi anak cucu kita—sebuah pengkhianatan terhadap amanah konstitusi.
Saatnya negara memilih: melindungi rakyat atau melindungi modal?























