SEKATOJAMBI.COM, JAMBI – Forum Temenggung Suku Anak Dalam (SAD), yang merupakan bagian dari Forum Kemitraan Pembangunan Sosial Suku Anak Dalam (FKPS-SAD), menegaskan bahwa tindakan segelintir oknum SAD tidak bisa dibenarkan atas nama adat.
Bahkan, masyarakat maupun perusahaan yang dirugikan dapat melaporkan ke kepolisian jika terdapat indikasi pelanggaran hukum.
“Jangan sampai kesalahan segelintir orang membuat citra SAD secara keseluruhan menjadi buruk,” ujar Temenggung Afrizal mewakili Forum Temenggung SAD. Penegasan ini penting untuk meluruskan persepsi bahwa masyarakat SAD kebal hukum. Komunitas SAD tetap berada dalam koridor hukum, baik adat maupun negara.
Pernyataan tersebut menjadi konteks penting atas peristiwa yang terjadi di salah satu area perkebunan kelapa sawit pada Rabu (30/7). Sekitar 30 orang SAD dari kelompok Meranti yang dihimbau agar tidak memanen buah sawit oleh pihak keamanan perusahaan justru memanggil rekan-rekannya sesama SAD.
Alih-alih mengikuti arahan, mereka yang membawa parang, kecepek (senapan rakitan), dan kayu malah terlibat pertengkaran dengan pihak keamanan perusahaan. Bahkan beberapa di antaranya melakukan intimidasi dengan mengalungkan parang ke leher tiga orang karyawan keamanan yang sedang bertugas.
Untung saja tidak terjadi pertikaian dan kerumunan berhasil dibubarkan. “Mereka teriak-teriak dan mengatakan bahwa mereka kebal hukum,” kata salah seorang karyawan yang berada di lokasi kejadian. Alasan mereka memanen, karena menilai bahwa lahan tempat pohon sawit yang ditanam perusahaan tersebut adalah milik nenek moyangnya.
Potensi benturan dengan masyarakat SAD memang sangat terbuka lebar. Oknum-oknum tertentu sering menyatakan bahwa mereka tidak termasuk dalam aturan dan hukum positif sehingga kebal hukum. Padahal, kenyataannya tidak demikian.
Situasi ini menjadi perhatian serius FKPS-SAD, yang selama ini aktif membangun dialog antara komunitas adat, pemerintah, dan dunia usaha. Dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digelar Sabtu (26/7) lalu di Desa Pematang Kabau, Kecamatan Air Hitam, disepakati pembentukan Tim Debalang Batin, sebuah struktur pengawas adat untuk menegakkan hukum adat SAD secara tertib, humanis, dan terkoordinasi.
“Ini bentuk konkret revitalisasi sistem hukum adat, agar tidak ada lagi anggapan bahwa SAD kebal hukum,” tegas Budi Setiawan, Sekretaris FKPS-SAD.
Tim Debalang Batin terdiri dari tokoh adat (Jenang), lembaga adat desa dan kecamatan, kepolisian, pemerintah desa, serta organisasi masyarakat yang peduli terhadap dinamika sosial. Tugasnya mencakup patroli rutin, pendokumentasian pelanggaran, mediasi, serta koordinasi dengan aparat hukum jika ditemukan potensi pidana.
Sebelumnya, beberapa kasus pencurian tandan buah segar (TBS) oleh oknum SAD telah diselesaikan melalui sidang adat. Para pelaku mengakui kesalahan dan dijatuhi sanksi adat. Model ini dinilai efektif dan berfungsi sebagai mekanisme restoratif yang mengedepankan pemulihan hubungan sosial, bukan semata-mata menghukum.
Namun demikian, FKPS-SAD menekankan bahwa penegakan hukum adat tetap perlu didukung struktur pengawasan yang sistematis dan berkelanjutan. Keberadaan Tim Debalang Batin adalah langkah awal ke arah tersebut.
Kapolsek Air Hitam, yang turut hadir dalam FGD, menyampaikan bahwa siapa pun, termasuk SAD, tetap tunduk pada hukum negara. Ia bahkan mengusulkan model pengamanan adat mirip “Pecalang” di Bali yang memiliki legitimasi dan fasilitas untuk menjaga ketertiban secara kultural.
Sementara itu, para kepala desa menyuarakan keprihatinan atas peran tengkulak sebagai pemicu konflik. Jaringan penadah sawit ilegal ini dituding memanfaatkan komunitas SAD untuk kepentingan ekonomi jangka pendek yang merugikan banyak pihak, termasuk masyarakat adat sendiri.
Dengan terbentuknya Tim Debalang Batin, diharapkan interaksi antara komunitas SAD dan lingkungan sekitarnya, termasuk perusahaan, dapat berlangsung lebih harmonis dan beradab. Penegakan hukum, baik adat maupun negara, harus berjalan beriringan, bukan saling meniadakan.(*)