SEKATOJAMBI.COM, JAMBI – Persoalan lahan eks Pertamina di Kota Jambi kian menyeruak setelah terungkap adanya ribuan sertifikat yang diduga terbit di atas tanah milik negara. Menyikapi keresahan masyarakat, Ketua DPRD Kota Jambi Kemas Faried Alfarelly bersama Wakil Ketua Komisi I Zayadi menyambangi Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Jumat (24/10/2025), untuk berkonsultasi dan meminta kejelasan terkait tumpang tindih kepemilikan lahan tersebut.
Kedatangan mereka diterima langsung oleh Direktur Pengelolaan Kekayaan Negara Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kemenkeu, Dr. Purnama Tioria Sianturi, SH, M.Hum. Dalam pertemuan itu, Kemas Faried memaparkan bahwa DPRD menerima banyak aduan dari masyarakat mengenai hasil overlay klaim peta aset Pertamina yang menunjukkan indikasi tumpang tindih sertifikat.
Data sementara menyebutkan ada 5.506 bidang tanah di tujuh kelurahan di Kota Jambi yang diduga terbit di atas lahan eks Pertamina. Rinciannya: 74 bidang di Simpang III Sipin, 64 bidang di Mayang Mangurai, 1.843 bidang di Kenali Asam, 1.314 bidang di Kenali Asam Bawah, 645 bidang di Kenali Asam Atas, 918 bidang di Paal Lima, dan 648 bidang di Suka Karya.
Menanggapi hal itu, Purnama Tioria Sianturi menjelaskan bahwa DJKN telah mengantongi data dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang menunjukkan adanya sertifikat terbit di wilayah tersebut. Ia menegaskan bahwa pihaknya akan bekerja sama dengan Pertamina untuk mengurai persoalan ini dan memastikan status kepemilikan tanah menjadi jelas.
“Dari data yang kami peroleh, ada 5.506 sertifikat yang telah terbit di atas tanah eks Pertamina. Kami sedang melakukan inventarisasi dan penilaian aset untuk membuat terang persoalan ini. Nantinya, kami akan identifikasi mana yang merupakan milik negara dan mana yang sudah terbit sertifikat oleh pihak lain,” ujar Purnama.
Menurutnya, persoalan tumpang tindih lahan seperti ini bukan hanya terjadi di Jambi, tetapi juga di beberapa daerah lain di Indonesia. “Kami sedang dalam tahap pemotretan data nasional. Jadi, proses ini cukup lama karena kami ingin memastikan data yang akurat agar solusi yang diambil nanti tepat,” imbuhnya.
Menanggapi penjelasan tersebut, Kemas Faried mengungkapkan bahwa masyarakat di Kota Jambi sudah lama menunggu kejelasan. Banyak warga yang merasa dirugikan karena lahan mereka diblokir akibat klaim aset, padahal sebagian sudah memiliki sertifikat resmi dari BPN.
“Masyarakat mengadu ke Komisi I karena merasa tidak bisa lagi memanfaatkan lahannya. Mereka berpikir tanahnya sudah diblokir. Kami berharap pemerintah pusat bisa mempercepat proses ini, karena warga membutuhkan kepastian hukum,” kata Kemas Faried.
Ia juga menanyakan kemungkinan dibukanya kembali blokir bagi masyarakat yang telah lebih dulu memiliki sertifikat sah. Namun Purnama menjawab bahwa hal itu belum dapat dilakukan sebelum tahap “membuat terang” atau pemetaan status lahan selesai dilakukan.
“Setelah semua dokumen kami kelompokkan—mana yang milik negara, mana yang sudah beralih, dan mana yang tumpang tindih—baru nanti kita bicarakan solusinya. Tapi yang perlu digarisbawahi, di lahan itu ada kepemilikan negara yang harus dihormati,” tegasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi I Zayadi menyoroti kejanggalan dalam proses penetapan aset tersebut. Ia mengaku heran karena dalam penyusunan Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Jambi tahun 2005 dan revisi tahun 2024, Pertamina tidak pernah menyampaikan bahwa kawasan itu merupakan bagian dari aset mereka.
“Waktu pembahasan RTRW, kami bahkan mengundang Pertamina dan BPN, tapi tidak pernah ada keterangan bahwa lahan itu milik Pertamina. Logikanya, kalau BPN menerbitkan sertifikat, pasti ada konfirmasi ke pihak-pihak terkait. Tapi Pertamina Jambi waktu itu tidak bisa memberikan dasar hukum kepemilikan,” ungkap Zayadi.
Ia menambahkan, kawasan tersebut sudah lama diakui sebagai permukiman warga. “Kami kaget ketika muncul pernyataan bahwa itu zona merah Pertamina. Kalau memang aset negara, ya harus ada kejelasan hukum agar masyarakat tidak terus dirugikan,” tambahnya.
Menanggapi hal itu, Purnama menegaskan bahwa lahan tersebut memang barang milik negara (BMN), bukan aset komersial Pertamina. Namun ia memastikan bahwa pemerintah akan mencari solusi terbaik agar tidak menimbulkan keresahan masyarakat.
“Faktanya, ini adalah aset negara. Tapi kami berkomitmen mencari penyelesaian yang adil. Proses ini masih berjalan, dan kami akan terus berkoordinasi dengan Pertamina, BPN, dan pemerintah daerah,” katanya.
Menutup pertemuan, Kemas Faried menyampaikan harapan agar Kemenkeu dan instansi terkait dapat segera memberikan kepastian hukum atas lahan tersebut. “Kami menitipkan harapan besar kepada pemerintah pusat. Kasihan masyarakat yang sudah punya sertifikat tapi sekarang statusnya quo. Semoga ada titik terang agar tidak terus menjadi beban,” ujarnya.
Zayadi menambahkan, persoalan ini mencuat karena sejumlah warga sudah mulai melakukan transaksi jual beli dan pengagunan lahan sebelum muncul klaim dari Pertamina. “Sekarang aktivitas itu terhenti karena status lahan tidak jelas. Ini perlu segera diselesaikan agar warga tidak terus dirugikan,” pungkasnya.
Kasus tumpang tindih 5.506 sertifikat di atas tanah eks Pertamina ini kini menjadi sorotan serius. Pemerintah pusat diminta turun tangan menyelesaikan sengkarut kepemilikan yang tak hanya berdampak pada kepastian hukum warga, tetapi juga stabilitas sosial dan ekonomi di wilayah Kota Jambi.
 
			





 
                                
















 
							


