SEKATOJAMBI.COM, JAKARTA – Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti akan menghidupkan kembali sistem penjurusan IPA, IPS, dan bahasa di SMA mulai tahun ajaran baru 2025/2026.
Kebijakan yang secara formal baru dihapuskan menteri sebelumnya, Nadiem Makarim, pada tahun lalu itu dinilai tidak relevan dengan keberlanjutan jenjang pendidikan.
Abdul Mu’ti menjelaskan, kebijakan ini akan segera diformalkan dalam waktu dekat melalui peraturan menteri. Aturan itu akan menggugurkan aturan sebelumnya, yakni Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 12 Tahun 2024.
Adapun Permendikbudristek No 12/2024 mengatur tentang kurikulum pada pendidikan anak usia dini, jenjang pendidikan dasar, dan jenjang pendidikan menengah. Peraturan ini diterbitkan oleh Nadiem.
”Ini bocoran, jurusan akan kami hidupkan lagi, nanti akan ada jurusan IPA, IPS, dan bahasa,” kata Mu’ti saat diskusi dengan media di Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), Jakarta, Jumat (11/4/2025).
Dengan begitu, siswa yang memilih mengikuti tes kemampuan akademik (TKA) sebagai pengganti ujian nasional akan wajib mengikuti tes Bahasa Indonesia dan Matematika.
Selain itu, murid yang memilih jurusan IPA dan IPS akan dipersilakan memilih satu mata pelajaran dalam rumpun ilmu jurusan mereka untuk diujikan dalam TKA.
Sebagai contoh, murid jurusan IPA bisa memilih ujian pada mata pelajaran Biologi, Fisika, atau Kimia. Adapun murid jurusan IPS akan memilih tes mata pelajaran Ekonomi, Geografi, Sejarah, atau Sosiologi.
”Dengan cara seperti itu, maka kemampuan akademik seseorang akan menjadi landasan ketika melanjutkan ke perguruan tinggi ke jurusan tertentu, itu bisa dilihat dari nilai kemampuan akademiknya,” ucapnya.
TKA tidak wajib diikuti dan tidak menjadi penentu kelulusan.
Mu’ti mengungkapkan, beberapa tahun terakhir dirinya mendapatkan masukan dari Forum Rektor Indonesia dan Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia. Perguruan tinggi merasa banyak mahasiswa baru diterima di program studi yang tidak sesuai dengan kemampuan akademiknya selama di SMA.
”Ada mahasiswa yang dia itu IPS, tetapi diterima di fakultas kedokteran. Wah, itu bisa jadi jebluk dia selama kuliah. Diterima sih diterima, tetapi begitu kuliah akan jadi kesulitan tersendiri karena dasarnya tidak berbasis mata pelajaran yang selama ini dipakai dalam asesmen nasional yang diperlakukan pada masa Mas Nadiem itu,” ujar Mu’ti.
Menteri sekaligus Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini menegaskan, perubahan kebijakan yang belum lama diterapkan ini bukan karena masalah personal dengan Nadiem. Hal ini diputuskan karena kebutuhan keberlanjutan di setiap jenjang pendidikan yang berpengaruh pada masa depan murid.
”Jadi, bukan persoalan yang dulu keliru atau tidak, kepentingannya adalah memberikan kepastian dan landasan bagi para pengambil kebijakan berdasarkan tes kemampuan akademik,” tuturnya.
Dulu, mantan Kepala Badan Standar Nasional Kurikulum dan Asesmen Pendidikan Kemendikbudristek Anindito Aditomo berdalih penghapusan jurusan di SMA bertujuan agar murid bisa lebih fokus untuk membangun basis pengetahuan yang relevan untuk minat dan rencana studi lanjutnya.
Selain itu, ada kecenderungan di masyarakat lebih banyak mengarahkan anaknya atau si anak sendiri untuk memilih penjurusan IPA karena dianggap memiliki keistimewaan atau kemudahan saat mendaftar kuliah. Padahal, ini belum tentu dilakukan berdasarkan refleksi tentang bakat, minat, dan rencana karier sang anak.
Penghapusan Jurusan SMA Akan Menghapus Hegemoni Anak IPA
Penghapusan jurusan di SMA juga diyakini akan menghapus diskriminasi terhadap murid jurusan non-IPA dalam seleksi nasional mahasiswa baru. Dengan Kurikulum Merdeka, semua murid lulusan SMA dan SMK dapat memilih semua prodi melalui jalur tes tanpa dibatasi oleh jurusannya ketika di SMA/SMK.
”Dengan menghapus penjurusan di SMA, Kurikulum Merdeka mendorong murid untuk melakukan eksplorasi dan refleksi minat, bakat, dan aspirasi karier serta kemudian memberi kesempatan untuk mengambil mata pelajaran pilihan secara lebih fleksibel sesuai rencana tersebut,” kata Anindito.
TKA tidak wajib
Dalam kesempatan ini, Abdul Mu’ti juga menegaskan bahwa TKA tidak wajib diikuti dan tidak menjadi penentu kelulusan. Namun, murid yang memilih mengikuti TKA bisa menggunakan nilainya tersebut untuk mendaftar ke perguruan tinggi melalui jalur prestasi.
Oleh karena itu, TKA dijadwalkan mulai pada November 2025 untuk siswa kelas XII SMA/SMK karena berdekatan dengan masa-masa pendaftaran mahasiswa baru jalur prestasi di perguruan tinggi. Sementara untuk jenjang SD dan SMP, penerapannya akan dimulai pada tahun 2026.
”Bahkan, tahun depan, sedang kami jajaki TKA itu nanti akan menjadi bagian dari tes masuk perguruan tinggi. Jadi, kalau nilai TKA-nya bagus, dia bisa masuk tanpa tes sehingga perguruan tinggi tidak perlu menyelenggarakan tes,” ujar Mu’ti.
TKA sebagai pengganti ujian nasional ini diselenggarakan karena perguruan tinggi kerap kali kesulitan menilai calon mahasiswa baru karena tidak ada penilaian akademik secara individual. Selain itu, sistem asesmen nasional memunculkan fenomena ”sedekah nilai” oleh guru-guru di sekolah agar lulusannya banyak yang masuk perguruan tinggi jalur prestasi.
Tim Redaksi