SEKATOJAMBI.COM, JAMBI – Praktik penahanan ijazah oleh perusahaan kembali menjadi sorotan serius di Provinsi Jambi.
Meski satu dari dua kasus yang dilaporkan ke Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) sudah berhasil diselesaikan, satu kasus lainnya masih menunggu proses pengembalian dokumen pekerja.
Afuan Yuza Putra, anggota Komisi IV DPRD Jambi, angkat bicara mengenai persoalan ini.
Menurutnya, tindakan tersebut tidak hanya melanggar etika hubungan kerja, tetapi juga secara terang-terangan bertentangan dengan Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2024 tentang penyelenggaraan ketenagakerjaan.
“Menahan ijazah karyawan adalah bentuk intimidasi yang tidak bisa ditolerir. Jika terbukti, perusahaan bisa dikenakan sanksi administratif hingga pencabutan izin usaha,” tegas Afuan.
Afuan meminta agar instansi terkait seperti Disnaker segera memanggil pihak perusahaan untuk dimintai keterangan.
Ia menekankan bahwa peraturan sudah jelas, dan saatnya semua pihak serius menegakkannya.
Sementara itu, Plt. Kepala Disnakertrans Jambi, Dodi Harianto Parmin, menyatakan bahwa pihaknya telah memediasi dua laporan sepanjang tahun ini.
Satu kasus selesai dengan pengembalian dokumen, sedangkan satu lainnya telah mencapai kesepakatan dan tinggal menunggu waktu realisasi pengembalian.
Dodi menambahkan bahwa pihaknya terus memberikan edukasi kepada perusahaan agar tidak menjadikan dokumen asli seperti ijazah sebagai jaminan kerja. Ia mengingatkan bahwa praktik semacam ini dapat menimbulkan masalah hukum dan merugikan pekerja secara psikologis maupun administratif.
Fenomena penahanan dokumen karyawan tidak hanya terjadi di Jambi. Wakil Menteri Tenaga Kerja, Immanuel Ebenezer, sebelumnya juga mengecam keras kasus serupa yang ditemukan di beberapa kota besar seperti Surabaya dan Pekanbaru.
“Kita ingin ciptakan iklim kerja yang adil dan manusiawi. Jangan ada lagi perusahaan yang memperbudak karyawan lewat cara-cara seperti menahan ijazah,” ujarnya dalam pernyataan resminya.
Dengan semakin tegasnya sikap pemerintah daerah dan pusat, diharapkan praktik-praktik pelanggaran hak tenaga kerja seperti ini segera berakhir. (*)