SEKATOJAMBI.COM, JAMBI – Mantan Kadispora Sungai Penuh Don Fitri Jaya akhirnya divonis 1 tahun 2 bulan oleh Majlis Hakim Pengadilan dalam kasus pembangunan Stadion Mini Kecamatan Sungai Bungkal, Kota Sungai Penuh.
Meskipun Majlis Hakim Tipikor Jambi pada Senin (8/9/2025) menyatakan Don Fitri Jaya tidak terbukti melakukan korupsi berdasarkan Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999.
Namun, hakim menilai Don Fitri melanggar Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2002 Jo Pasal 55 KUH Pidana. Sehingga majelis hakim memvonis 1 tahun 2 bulan penjara dan denda Rp50 juta, dikurangi masa tahanan yang sudah dijalani. Terdakwa tetap ditahan. Don Fitri Jaya lewat kuasa hukumnya Viktorianus Gulo akan melakukan banding atas putusan tersebut.
Viktorianus Gulo, SH, MH menilai hakim hanya menilai posisi Don Fitri sebagai pengguna anggaran, tanpa mempertimbangkan pembuktian nyata, seperti yang ditegaskan Putusan MK No. 25 Tahun 2016.
Penasihat hukum menekankan, pengendalian kontrak merupakan kewenangan PPK, bukan pengguna anggaran. Don Fitri tidak berwenang menegur pelaksana atau mengubah hasil tender, karena keputusan pemenang tender berada di tangan Unit Layanan Pengadaan (ULP).
Don Fitri dan timnya menilai putusan hakim keliru dan tidak tepat, sehingga mereka mengambil langkah hukum dengan mengajukan banding.
Dalam amar putusannya, Majelis Hakim menyatakan Don Fitri tidak terbukti melanggar Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Namun, hakim tetap menyatakan terdakwa bersalah melanggar Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 KUHP, dengan hukuman:
Pidana penjara 1 tahun 2 bulan, dikurangi masa tahanan yang telah dijalani. Denda Rp50 juta, subsider 1 bulan kurungan. Menetapkan terdakwa tetap berada dalam tahanan.
Atas putusan tersebut, terdakwa dan tim penasihat hukumnya langsung menyatakan banding.
Menurut Viktor pertimbangan hakim hanya mendasarkan pada pembuktian formil dengan mengaitkan kedudukan terdakwa sebagai Pengguna Anggaran (PA), sehingga dianggap wajib mengetahui seluruh proses.
“Seharusnya hakim berpegang pada pembuktian materiil sebagaimana ditegaskan dalam Putusan MK Nomor 25 Tahun 2016, yakni siapa yang benar-benar melakukan perbuatan itulah yang harus bertanggung jawab,” tegas Victor.
Tidak Sesuai Perpres No 16 Tahun 2018
Victor juga menyoroti bahwa putusan hakim bertentangan dengan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Menurut peraturan tersebut, kewenangan pengendalian kontrak berada pada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), bukan Pengguna Anggaran. Dengan demikian, Don Fitri sebagai Pengguna Anggaran tidak memiliki otoritas untuk mengendalikan pekerjaan ataupun melakukan intervensi teknis dalam kontrak.
Namun dalam putusannya, hakim justru menyatakan terdakwa tidak melakukan pengendalian sebaik-baiknya. “Ini jelas tidak sesuai aturan, karena PA tidak berwenang mengendalikan kontrak. Justru kalau PA ikut campur bisa dianggap melanggar aturan pengadaan barang dan jasa,” tambahnya.
Bukan Kewenangan Pengguna Anggaran
Selain itu, hakim juga menilai Don Fitri tidak menegur CV Saputro Handoko maupun pelaksana Yusrizal, serta tidak menegur PPK. Menurut Victor, hal ini tidak dibenarkan karena PA memang tidak memiliki kewenangan untuk menegur langsung penyedia maupun PPK.
“Yang menentukan pemenang tender adalah Unit Layanan Pengadaan (ULP), bukan Pengguna Anggaran. Artinya, ketika ULP sudah menetapkan pemenang, maka otomatis dinyatakan telah memenuhi syarat. Itu sepenuhnya di luar kewenangan terdakwa,” ungkapnya.
Dengan sederet kejanggalan tersebut, Victor memastikan tim hukum Don Fitri segera menempuh langkah banding ke pengadilan yang lebih tinggi. Ia menegaskan, pihaknya akan terus berjuang agar hukum ditegakkan secara benar, sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku.