SEKATOJAMBI.COM, JAKARTA – Kunjungan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid ke Kantor Wilayah BPN Riau pada 24 April 2025 memicu kontroversi di kalangan aktivis lingkungan dan pakar kehutanan.
Dalam pernyataannya, Nusron menyebut bahwa hak guna usaha (HGU) perkebunan tetap sah apabila diterbitkan sebelum kawasan tersebut ditetapkan sebagai kawasan hutan.
Pernyataan tersebut mendapat kritik tajam dari Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Ia menilai pernyataan itu menyesatkan dan berbahaya karena berpotensi mengaburkan kerangka hukum yang telah disusun pemerintah untuk menegakkan ketaatan sektor usaha terhadap undang-undang kehutanan.
“Sudah ada aturan hukum yang secara jelas mengatur perusahaan agar tunduk pada regulasi sektor kehutanan. Pernyataan Menteri Nusron justru mengaburkan hal itu,” kata Uli kepada Tempo, Senin, 28 April 2025.
Nusron berkilah, pernyataannya ditujukan untuk mendorong percepatan penataan lahan dan HGU, mengingat masih ada 126 perusahaan perkebunan di Riau yang telah memiliki izin usaha perkebunan (IUP) namun belum mengantongi HGU. Ia juga menekankan bahwa tugasnya adalah memastikan prinsip pemerataan, keadilan, dan keseimbangan ekonomi dalam penerbitan HGU, sebagaimana arahan Presiden Prabowo Subianto.
Isu HGU di kawasan hutan kini menjadi perhatian utama Satuan Tugas Penerbitan Kawasan Hutan yang dibentuk Presiden Prabowo.
Konflik HGU dan Status Kawasan Hutan
Pernyataan Nusron mengacu pada nota kesepahaman antara Kementerian ATR/BPN dan Kementerian Kehutanan. Ia mengklaim bahwa jika HGU lebih dulu terbit dibanding penetapan kawasan hutan, maka HGU tersebut yang berlaku. Namun pernyataan ini tidak direspons secara resmi oleh Kementerian ATR/BPN dan Kementerian Kehutanan saat dimintai konfirmasi oleh Tempo.
Nota kesepahaman lintas kementerian yang diteken pada 17 Maret 2025 oleh Nusron bersama Kementerian Dalam Negeri, Kehutanan, Transmigrasi, dan Badan Informasi Geospasial bertujuan memperkuat sinergi tata kelola pertanahan dan tata ruang. Namun, keabsahan dan interpretasi hukum atas pernyataan Nusron tetap menjadi sorotan.
Uli Arta Siagian menekankan bahwa penetapan kawasan hutan merupakan proses bertahap dan belum seluruh kawasan rampung secara resmi. Ia menilai argumen bahwa HGU otomatis menang atas penetapan kawasan hutan tidak tepat dan menyesatkan.
“Tidak ada aturan yang menyebut HGU otomatis sah jika terbit lebih dulu. Regulasi mengatur sanksi dan mekanisme korektif bagi perusahaan yang beroperasi di kawasan hutan tanpa prosedur sah,” tegas Uli.
Uli merujuk pada PP No. 60 Tahun 2012 dan PP No. 104 Tahun 2015 yang memberi waktu tiga tahun bagi pelaku usaha ilegal di kawasan hutan untuk menyelesaikan kewajiban administratif. Ia juga menyinggung Pasal 110A dan 110B UU Cipta Kerja (UUCK) yang memberikan ruang penyelesaian administratif, namun tetap disertai sanksi bagi yang tidak patuh.
Manajer Kampanye Satya Bumi, Sayyidatihiyaa Afra, juga mengkritik pernyataan Menteri Nusron. Ia menilai arah kebijakan tersebut cenderung mengabaikan keberadaan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) dan izin lingkungan sebagaimana diatur dalam UU No. 39 Tahun 2014 dan UU Pokok Agraria.
“Ini bukan soal siapa menang atau kalah antar kementerian. Ini soal supremasi hukum dan perlindungan lingkungan,” tegas Hayaa.
Hayaa menambahkan, HGU adalah proses akhir dalam rantai perizinan. Sebelum HGU diterbitkan, pelaku usaha seharusnya lebih dulu mengantongi izin lokasi, IUP, dan izin pemanfaatan kawasan hutan. Ia meminta agar Kementerian ATR/BPN menghormati keseluruhan proses perizinan lintas sektor tersebut.
Perspektif Akademisi: Dasar Hukum HGU Harus Diperjelas
Pengajar hukum agraria dari Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera, Grahat Nagara, menyebut pernyataan Menteri Nusron tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Ia merujuk PP No. 40 Tahun 1996 yang menegaskan bahwa HGU hanya bisa diberikan atas tanah negara yang dipastikan bebas dari penguasaan pihak lain.
“Ketika tanah negara sudah dialokasikan menjadi kawasan hutan melalui penunjukan, negara tidak dapat mengalokasikannya untuk HGU perkebunan,” jelas Grahat.
Ia juga menekankan bahwa PP No. 18 Tahun 2021 dan UU Cipta Kerja menyebut sumber tanah negara sebagai dasar HGU, tetapi hanya untuk tanah yang memang bukan kawasan hutan atau tidak dalam penguasaan masyarakat adat.
Lebih jauh, Grahat mengingatkan bahwa pernyataan seperti Nusron justru dapat mendorong pelanggaran terhadap Pasal 17 UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Ia menganggap pernyataan tersebut bisa melemahkan upaya penyelesaian kasus penguasaan ilegal lahan berskala besar yang saat ini tengah ditangani pemerintah melalui Peraturan Presiden tentang Penerbitan Kawasan Hutan.