SEKATOJAMBI.COM, JAMBI – Perkumpulan Hijau (PH) menemukan indikasi kejahatan lingkungan akibat aktivitas industri Ekstraktif Batubara yaitu PT. Globalindo Alam Lestari (GAL) di kawasan Desa Suo Suo, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo.
Perkumpulan Hijau menemukan ancaman serius untuk lingkungan dan masyarakat, akibat aktivitas tambang batu bara yang hanya berjarak sekitar 200 Meter dari permukiman warga.
Direktur Perkumpulan Hijau, Feri Irawan menyoroti dampak yang ditimbulkan dari tambang batu bara yang sangat dekat permukiman warga tersebut, mulai dari ketimpangan sosial hingga ancaman terhadap lingkungan dan ketahanan pangan.
“Resiko hadirnya tambang batu bara pasti akan mengintimidasi ruang hidup masyarakat karena di mana ada tambang, pasti ada kesengsaraan,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa situasi di Desa Suo suo mencerminkan bagaimana masyarakat dikorbankan atas nama eksploitasi sumber daya alam.
Menurut Feri, ketidakpatuhan perusahaan tambang terhadap aturan jarak minimal dari permukiman merupakan bentuk kejahatan pertambangan yang nyata.
“Ketidakpatuhan perusahaan pada aturan tentang jarak minimal pun menjadi salah satu tolak ukur kejahatan pertambangan,” tegasnya.
Selain ancaman terhadap lingkungan dan pertanian, aktivitas tambang yang begitu dekat juga meningkatkan risiko kesehatan bagi warga sekitar. Polusi udara dari debu tambang, pencemaran air, serta potensi longsor akibat pengerukan tanah menjadi kekhawatiran utama yang dihadapi masyarakat.
Bukan hanya itu, Perkumpulan Hijau melihat PT. GAL dituding telah menyebabkan pencemaran dan membunuh sejumlah ekosistem sungai di sekitar konsesinya.
“Dari hasil investigasi dilapangan Perkumpulan Hijau menemukan pembuangan atau pengeringan air dari bekas tambang baru yg sedang beroperasi melalui selang mengarah dan mengalir ke sungai Batanghari, air bekas tambang yang seharusnya dialiri ke settling pond untuk mengurai zat atau bahan kimia bekas tambang yang terkandung dari air bekas tambang baru,” sampainya.
Dalam hal ini jelas ungkap Feri, sanksi pelanggaran UU Lingkungan terkait settling pond, dapat berupa sanksi pidana maupun sanksi administratif, tergantung pada jenis pelanggaran dan tingkat keparahannya. Sanksi pidana meliputi penjara dan denda, sedangkan sanksi administratif meliputi teguran tertulis, pembekuan izin, atau pencabutan izin.
Feri menambahkan, dalam izin PT. GAL ini terlihat jelas lobang bekas galian tambang yang menganga luas, tidak ada bentuk tanggung jawab terhadap dampak akibat dari ekploitasi tambang yang dilakukan secara masif.
“Berdasarkan analisis Tim GIS, Perkumpulan Hijau mencatat luasan lobang tambang yang tidak di reklamasi oleh PT. GAL, ialah Luas Lobang Tambang seluas 7,64 Ha dan Luas lahan yg terbuka seluas 10,97 Ha,” sebutnya.
Feri menegaskan, jika tindakan kejahatan lingkungan ini tidak segera dihentikan, maka kehancuran dan bencana tinggal menunggu waktu.
“Desakan Evaluasi dan Sanksi Tegas, Perkumpulan Hijau mendesak pemerintah, Polda Jambi, Mabes Polri, khususnya Inspektorat Tambang, Menteri Lingkungan Hidup, untuk segera mengevaluasi praktik tambang yang berlangsung di Desa Suo Suo. Feri menekankan bahwa pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi warga dari dampak buruk pertambangan dan memastikan keselamatan mereka,” sampainya.
“Perkumpulan Hijau juga mendesak pemerintah selaku pemberi izin, untuk mengevaluasi praktik tambang yang ada dan membebaskan area masyarakat dari wilayah tambang agar dapat memberikan jaminan pada keselamatan masyarakat sekitar,” katanya.
Terkait kemungkinan sanksi, Feri menyebut bahwa pencabutan izin merupakan bentuk hukuman tertinggi yang bisa diberikan terhadap perusahaan yang melanggar aturan. Namun, hingga saat ini, belum ada pencabutan izin yang terjadi di wilayah tersebut.
Dalam hal ini, Perkumpulan Hijau akan segera melaporkan temuan dilokasi PT. GAL ini ke Polda Jambi untuk dilakukan tindakan.
“Kami akan laporkan PT. GAL ini atas tindakan kejahatan pencemaran lingkungan,” tutupnya.
Tim Redaksi