SEKATOJAMBI.COM, JAMBI – Tidak terima pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak, 2 orang dosen di Institut Islam Maarif Jambi, Sukri Nasution dan Alfia Apriani menggugat Yayasan Pendidikan Bintang Sembilan (YPBS) Jambi.

Perkara gugatan hubungan industrial ini kini tengah bergulir di Pengadilan Hubungan Industri (PHI) pada Pengadilan Negeri (PN) Jambi.

Alfia Apriani menceritakan kronologinya. Ketika itu Juli 2023, 4 pengelola termasuk 2 penggugat dituduh melakukan pencurian oleh Ketua Yayasan di dalam grup internal pengelola.

Tuduhan tersebut muncul saat berlangsungnya proses ujian komprehensif mahasiswa.

Namun menurut para dosen tuduhan tersebut tidak berdasar karena selama ini pengelolaan keuangan dan akses ke rekening bank sepenuhnya berada di bawah kendali Ketua Yayasan.

Para pengelola kampus hanya bertanggung jawab atas administrasi berkas dan tidak pernah diberi akses keuangan langsung.

“Nominal dak terlalu banyak, cuma ratusan ribu dan itupun sudah diaudit 2 kali oleh pengurus yayasan dan tidak terbukti,” ujarnya.

“Satu lagi kami usulkan audit eksternal supaya objektif, tapi yayasan tidak bersedia. Alasannya mahal,” sebut Alfia Apriani.

Akibat situasi kampus yang dinilai tidak kondusif, keempat tenaga pendidik memilih mengundurkan diri dari jabatan struktural pada 6 September 2023 dengan harapan kondisi kampus bisa membaik.

Namun kenyataannya, setelah pengunduran diri, mereka mengaku justru mendapat intimidasi, dibatasi aktivitas akademiknya, bahkan aktivitas mengajar pun dihentikan.

Puncaknya terjadi pada semester ganjil tahun akademik 2024. 2 dosen dinonaktifkan secara sepihak tanpa proses yang jelas. Mereka menerima surat yang meminta pengunduran diri dari status dosen tetap.

Karena dinonaktifkan secara sepihak, pada 12 Februari 2024, kedua dosen resmi mengajukan permintaan penyelesaian hak normatif ke Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Jambi.

Proses mediasi dilakukan 4 kali, di mana pihak yayasan hanya hadir pada mediasi keempat. Namun dalam mediasi itu pun, kedua dosen tetap dianggap bersalah oleh Yayasan, walau tanpa pembuktian yang jelas.

Disnaker akhirnya mengeluarkan anjuran untuk menyelesaikan persoalan pemutusan kerja serta kekurangan pembayaran upah yang mereka alami.

Namun hal ini juga tak lepas dari permasalahan lain, salah satu poin konflik adalah pemotongan tunjangan sertifikasi oleh Yayasan sebesar Rp 1.200.000 dari total Rp 1.400.000 yang seharusnya mereka terima.

Diceritakannya, semenjak dirinya dinyatakan sebagai Dosen Tetap (DT) pada Yayasan Pendidikan Bintang Sembilan (YPBS) Jambi pada tahun 2014 sampai Agustus 2019 yang dibuktikan dengan SK nomor: 21.5/SK/YPBS-J/X/2014, dirinya masih menerima gaji pokok sesuai dengan SK sebesar Rp 1.200.000.

Namun tertanggal 1 September 2019 pasca diterbitkan SK dengan nomor: 15/SK/YPBS-J/IX/2019, menyatakan tunjangan bagi dosen tetap yang tidak memiliki sertifikasi dosen sebesar Rp 1.400.000, sementara tunjangan bagi dosen yang memiliki sertifikasi dosen sebesar Rp. 200.000.

Pada bulan Januari Tahun 2020, dirinya dinyatakan sebagai penerima sertifikasi dosen yang diberikan tunjangan oleh pemerintah.

Ia mengaku sejak menerima serdos gajinya yang semula Rp 1.400.000 dikurangi oleh Ketua YPBS sebesar Rp 1.200.000, dengan dalih, sebagai kontribusi mereka terhadap kampus lantaran sertifikasi dosen diusulkan oleh kampus pada kementerian.

“Sehingga saya menerima gaji bersih sebesar Rp 200.000 perbulan dengan alasan bahwa saya mendapatkan serdos merupakan kontribusi kampus,” jelasnya.

Atas keterangannya itu, kedua dosen ini lantas menggugat dan kini menjalani persidangan di PN Jambi atas dasar PHK sepihak, pelanggaran hak normatif, serta pembayaran upah di bawah standar UMK dan pemotongan tunjangan tanpa dasar.

“Kami sudah empat kali menyampaikan surat dan mencoba jalan kekeluargaan. Tapi tidak ada itikad baik dari yayasan,” ujarnya.