SEKATOJAMBI.COM, MUARO JAMBI – Seharusnya menjadi solusi, proyek rehabilitasi jalan di Simpang Nasional SMA 2 Desa Berembang, Kecamatan Sekernan, justru berakhir menjadi bahan perbincangan panas. Dengan anggaran Rp12,1 miliar dari APBD Kabupaten Muaro Jambi tahun 2024, hasil proyek jalan itu kini diragukan kualitasnya.

Aspalnya mulai retak, dan warga setempat khawatir jalan yang baru selesai tersebut tak akan bertahan lama.

Di tepi jalan, papan proyek berdiri menyebutkan bahwa rehabilitasi ini dikerjakan oleh CV. Yudha Karya. Pengawasnya CV. Bosco Consultant. Durasi pengerjaan hanya 75 hari. Namun, mencoloknya, volume pengerjaan tidak dicantumkan. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar, terutama di tengah sorotan atas kualitas pengerjaan yang dianggap jauh dari memadai.

M. Toha, Ketua Laskar Merah Putih Perjuangan (LMPP) Kabupaten Muaro Jambi, menjadi salah satu suara paling keras yang mengkritik proyek ini. Ia menilai kualitas pengerjaan jalan tidak sepadan dengan dana besar yang dihabiskan.

“Anggaran Rp12 miliar itu uang rakyat. Seharusnya menghasilkan jalan berkualitas tinggi, bukan seperti ini. Pengerjaan seperti asal jadi. Kalau dibiarkan, jalan ini akan hancur sebelum waktunya,” tegas Toha.

Ia menambahkan bahwa pihaknya akan membawa temuan ini ke ranah hukum.

“Kami akan laporkan ke aparat penegak hukum. Jangan sampai ada yang bermain-main dengan uang rakyat,” ujarnya.

Keluhan juga datang dari warga yang sehari-hari melintasi jalan itu. Amir, salah satu pengendara, menyebut jalan tersebut seperti proyek darurat.

“Lapisan aspalnya kok sudah ada retakan di beberapa bagian. Kalau musim hujan datang, saya yakin jalan ini cepat rusak,” katanya dengan nada kesal.

Di sisi lain, Siti, seorang pedagang mengeluhkan kondisi jalan yang tidak rata dan mudah bergetar ketika kendaraan besar melintas. “Ini seperti bukan jalan yang dibangun dengan uang sebanyak itu,” ungkapnya.

Minimnya transparansi pada papan proyek menambah kecurigaan. Tidak tercantumnya volume pekerjaan dianggap sebagai indikasi lemahnya pengawasan.

Dalam proyek infrastruktur, transparansi adalah kunci. Ketika volume tidak dicantumkan, sulit bagi masyarakat untuk mengawasi apakah hasil pengerjaan sesuai dengan dana yang dikeluarkan. Warga juga menyoroti waktu pengerjaan yang hanya 75 hari.

“Durasi ini sangat singkat untuk proyek sebesar itu. Kemungkinan besar, pengerjaan dilakukan terburu-buru, yang memengaruhi kualitas,” tambah Amrin, warga lainnya.

Aparat penegak hukum didesak untuk mengusut proyek ini. Selain soal kualitas pengerjaan, publik juga menuntut transparansi penuh dari seluruh pihak yang terlibat.

Bagi masyarakat, Rp12 miliar bukanlah angka kecil. Harapan mereka untuk menikmati infrastruktur berkualitas kini berubah menjadi kekecewaan mendalam. Mereka menanti tindak lanjut tegas dari DPRD dan penegak hukum. Apakah ini hanya sebuah proyek gagal atau ada cerita besar di baliknya? Waktulah yang akan menjawab.