SEKATOJAMBI.COM, JAMBI – Tim Satgas Jaringan Pencegahan Korupsi dan Pelayanan Publik Direktorat Gratifikasi dan Pelayanan Publik KPK melakukan diskusi tentang Sponsorship dan Gratifikasi di lingkungan RSUD Raden Mattaher Jambi, Jumat (15/9/2023).

Kasatgas Jaringan Pencegahan Korupsi dan Pelayanan Publik KPK Crisna Adhitama Surya Nugraha, menyampaikan kedatangan mereka adalah bagian rangkaian dari kegiatan Roadshow Bus KPK yang ada di Jambi.

“Jadi tidak ada alasan khusus Kenapa kami harus ke sini, tidak ada isu-isu tertentu, tidak ada informasi terkait dengan yang mungkin menjadi dasar khusus,” katanya.

Ia juga menyampaikan pihaknya merupakan bagian dari tim dalam rangkaian kegiatan Roadshow Bus KPK mendapatkan jatah dalam melakukan sosialisasi di sektor kesehatan tentang Peraturan nomor 2 tahun 2019 tentang pelaporan gratifikasi.

“Hari ini kami lebih tepatnya mungkin sharing diskusi terkait dengan gratifikasi dan juga sponsorship di sektor kesehatan karena kebetulan pada tahun ini kami KPK merencanakan untuk melakukan perubahan peraturan nomor 2 tahun 2019 tentang pelaporan gratifikasi,” ujarnya.

“Karena rasanya bisa dikasih itu kan sesuatu yang mungkin sekalian kita cerita saja gitu langsung ya, jadi dikasih itu kan kalau kita lihat di definisi undang-undang korupsi itu semua pemberian apapun bentuknya yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara itu disebut gratifikasi, tidak melihat nominalnya,” tegasnya.

Crisna juga memaparkan tentang batasan batasan yang harus dilaksanakan serta menjelaskan 4 unsur yang terpenuhi dalam praktif gratifikasi.

Pertama, PNS atau penyelenggara negara, orang yang bekerja menerima gaji, baik APBD maupun APBN.

“Kedua barangnya itu sudah benar-benar diterima, ketiga berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban,” jelasnya.

Kedua adalah terkait dengan Sponsorship bagi tenaga kesehatan ini jika dikembalikan kepada aturan.

“Kita kembalikan ke aturan terkait dengan gratifikasi tentu ini termasuk gratifikasi gitu ya, karena perusahaan farmasi ngasih dokter pasti melihat jabatan,” ujarnya.

Crisna mengatakan, karena perkembangan industri kesehatan sangat pesat jadi hal tersebut masih dibutuhkan, hanya saja perlu di bentuk mekanisme agar pemberian ini tidak di alamatkan langsung kepada individu atau dokter, melainkan harus di alamatkan ke Rumah Sakit tempat yang bersangkutan bekerja.

“Kalau langsung, maka terpenuhi lah unsur, untuk masalah tadi penerimanya adalah penyelenggara negara, maka diatur boleh diterima, oleh tenaga medis pertama di alamatkan dulu ke institusi atau ke lembaga tenaga medis itu bekerja, kemudian setelah itu harus melaporkan apa yang diterima kepada KPK, dan sebagai bentuk ketransparansian,” tuturnya.

Ketiga, apa saja yang diterima, yaitu pertama biaya registrasi, transportasi, akomodasi melalui institusi harus melaporkan baik dari sisi positif maupun negatif nya ke KPK.

“Seperti ini dokter juga memiliki kesempatan untuk berkembang gitu ya walaupun biayai yang secara hubungan mungkin ada objek seperti dengan adanya mekanisme ditambah ada kewajiban untuk pelaporan penerimaan, itu kepada kami,” bebernya.