Audit KPU, Hentikan Proses Pemilu

SekatoJambi.com – KPU Harus Transparan Demi Pemilu yang Demokratis, Jujur dan Adil, Negara yang demokratis tak hanya ditandai oleh pemilu yang berjalan reguler, tetapi juga penyelenggaraan pemilu itu sendiri harus bebas dan adil (free and fair election).

Pertama, pemilu yang bebas berarti tidak adanya rintangan atau tekanan yang menghalangi setiap warga negara untuk menggunakan hak politiknya, baik untuk memilih dan dipilih maupun berhimpun dalam partai politik demi mewadahi aspirasi bersama.

Pemilu yang bebas menghendaki partisipasi politik yang luas dan inklusif dari semua warga negara. Regulasi pemilu, baik UU maupun turunannya, tidak boleh menganulir prinsip ini.

Kedua, penyelenggaraan pemilu harus berlangsung kompetitif dan adil. Ini menyangkut aspek perlakuan yang sama, proses penyelenggaraan pemilu yang transparan, dan netralitas penyelenggara negara.

Regulasi pemilu harus memberikan lapangan bertanding yang adil (level playing field) bagi semua partai politik, baik lama maupun baru, tanpa memandang sikap politik dan corak ideologinya.
Ketiga, penyelenggara pemilu yang independen, imparsial, berintegritas, dan akuntabel. Penyelenggara pemilu tidak boleh memihak atau memberi keuntungan/perlakuan khusus kepada kandidat atau partai tertentu.

Pada kenyataannya, penyelenggaraan pemilu kita belum mendekati prinsip bebas dan adil. Dalam Electoral Integrity Global Report 2019-2021, yang disusun oleh Electoral Integrity Project, menempatkan Indonesia dalam kategori moderat dengan skor 58. Indonesia di bawah Timor Leste yang masuk kategori high dengan skor 64.

Problem Elektoral Indonesia Pertama, aspek prosedural pemilu (UU pemilu dan turunannya) mengorbankan aspek substantif, seperti bebas, terbuka, kompetitif, dan adil.

Seharusnya persyaratan parpol untuk mendaftar dan menjadi peserta pemilu tidak mengeliminasi hak partai politik, termasuk hak politik warga negara yang berhimpun di dalamnya, untuk berpartisipasi dalam pemilu.

Pada kenyataannya, persyaratan parpol peserta pemilu yang sangat berat (Pasal 173 UU 7/2017 tentang pemilu) berpotensi mempersempit ruang partisipasi politik warga negara.

Indikasi itu terbukti dari banyaknya parpol yang dieliminasi oleh persyaratan tersebut. Dari 40 parpol yang mendaftar sebagai peserta pemilu, hanya ada 18 parpol yang dinyatakan memenuhi syarat verifikasi administrasi. Nantinya, pada proses verifikasi faktual, jumlah parpol yang lolos semakin mengecil.

Kedua, regulasi pemilu bersifat diskriminatif dengan membedakan antara parpol parlemen dan non-parlemen/baru.
Ini berlaku pada penerapan pasal Pasal 173 UU Nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu: parpol parlemen hanya diverifikasi dokumen, sedangkan parpol non-parlemen diharuskan verifikasi dokumen dan faktual.
Padahal, dinamika dan dukungan politik selalu berubah, termasuk kepengurusan dan keanggotaan parpol. Pada kenyataannya, parpol lama juga ketahuan mencatut NIK/KTP warga tanpa persetujuan (consent).

Ketiga, semangat penyederhanaan Parpol di Indonesia seperti hendak membangun tembok besar yang menghalangi tampilnya parpol baru.

Padahal, antusiasme rakyat untuk menghadirkan parpol baru cukup tinggi. Jumlah parpol yang mendaftar di pemilu 2024 meningkat. Jumlah parpol yang mendaftar pada pemilu 2019 hanya 27, sedangkan di pemilu kali mencapai 40 parpol. Tentu saja, sebagian besar parpol baru.

Sayang sekali kalau antusiasme politik rakyat itu dihambat atas nama penyederhanaan parpol. Jangan lupa, salah satu tujuan pemilu adalah mewadahi beragam aspirasi dan kehendak politik rakyat.

Persoalan dalam Proses Pendaftaran Parpol Pemilu 2024 . Pertama, penggunaan teknologi informasi dalam proses pendaftaran parpol (party registration) seharusnya untuk mempermudah, bukan mempersulit. Aspek prosedural seharusnya tak mengorbankan aspek substantif.

Faktanya, penggunaan teknologi Sistim Informasi Partai Politik (SIPOL) justru mempersulit proses pendaftaran parpol, bahkan terindikasi mengeliminasi hak-hak warga negara dan partai politik.

Sejak aksesnya dibuka dan diserahkan ke Parpol, SIPOL sering mengalami system error, sehingga memperlambat proses pengisian data/dokumen oleh parpol.

Sering terjadi, proses penginputan data/dokumen oleh Parpol tertunda atau terhalang karena server down. Perangkat lunak SIPOL juga sering mengalami bug, sehingga programnya tidak bisa berfungsi dengan baik.

Selain itu, dalam proses penginputan data atau dokumen parpol di SIPOL, kesalahan pengetikan (typo) bisa berbuah dokumen itu dianggap tidak memenuhi syarat (TMS). Akibatnya, selain hak warga negara yang diberangus, parpol juga dirugikan.

Dalam kasus PRIMA, pernah terjadi penurunan progress keanggotaan yang diunggah di SIPOL. Awalnya, status pendaftaran progress-nya sudah 100 persen. Namun, pada saat SIPOL dibuka kembali, tiba-tiba progressnya menurun menjadi 97,06 persen. Pertanyannya, ketika SIPOL ditutup, kemana dokumen sebanyak 2,6 persen? Kenapa data parpol di SIPOL bisa berubah ketika Sipol dikunci?
Dengan demikian, SIPOL sangat tidak memadai sebagai teknologi untuk menjadi pendukung utama proses pendaftaran Parpol. Alih-alih mempercepat, meringankan, dan mengefisienkan proses pendaftaran, SIPOL justru merugikan Parpol dan hak-hak politik warga negara.
Tentu saja, kondisi SIPOL yang tak memadai, bertentangan dengan prinsip penyelenggaraan pemilu dalam UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang mengharuskan profesional, akuntabel, efektif, dan efisien.

Kedua, KPU tidak berhasil memutakhirkan data pemilih berkelanjutan dan mensinkronkan data SIPOL dengan data kependudukan (SIAK). Akibatnya, ada banyak data anggota Parpol yang diinput di SIPOL dinyatakan tidak terdaftar dalam data pemilih berkelanjutan dan dinyatakan TMS.

Kasus itu yang dialami oleh PRIMA di enam kabupaten/kota di Papua, yang berkonsekuensi PRIMA dinyatakan TMS secara nasional. Pada kenyataannya, setelah ditelusuri lebih lanjut oleh DPP PRIMA, anggota yang dinyatakan tidak terdaftar di data pemilih berkelanjutan itu sudah pernah menggunakan hak pilih di pemilu sebelumnya.

Dalam kasus ini, KPU gagal menjalankan tugasnya dengan baik: memutakhirkan data pemilih berkelanjutan dan menyelaraskan data pemilih dengan data kependudukan (lihat pasal 12 F, UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu).

Namun, alih-alih mengakui kesalahan dan melakukan koreksi, KPU justru melimpahkan kesalahan itu kepada PRIMA dan parpol lain yang mengalami nasib serupa.

Ketiga, penyelenggaraan tahapan pemilu oleh KPU, dalam hal ini pendaftaran dan verifikasi, belum transparan dan partisipatif. Sebagai sistem informasi, SIPOL harusnya mudah diakses oleh parpol, badan pengawas pemilu, dan masyarakat (aspek aksesibilitas).

Parpol tidak bisa mengakses hasil rekapitulasi verifikasi administrasi di KPU kabupaten/kota, sehingga terjadi kesimpangsiuran informasi.

Sebagai contoh, dalam kasus PRIMA, ada 6 Kabupaten/kota di provinsi Papua yang dinyatakan TMS oleh KPU pusat, tetapi informasi tidak tertulis dari KPU kota/kabupaten bersangkutan menyatakan PRIMA memenuhi syarat (MS). Masalahnya, pernyataan atau informasi dari KPUD kota/kabupaten itu tidak bisa diverifikasi karena hasil rekapitulasi verifikasi administrasi tingkat kota/kabupaten tidak bisa diakses.
Masalahnya lagi, tidak terbukanya hasil verifikasi administrasi tingkat kota/kabupaten ke publik memunculkan informasi liar perihal parpol yang berstatus TMS di kota/kabupaten tertentu, tetapi diloloskan/MS di tingkat pusat.

Partisipasi publik terhadap informasi pemilu hanya sebatas mengecek status keanggotaan parpol berbasis NIK melalui portal infopemilu.kpu.go.id. Sementara keterlibatan yang lebih konkret dalam mengontrol proses pendaftaran dan verifikasi tidak terlihat.

Pemilu yang berintegritas tak mungkin terwujud tanpa penyelenggaraan pemilu yang bersih, transparan, dan akuntabel. Tudingan bahwa parpol tertentu sengaja dijegal karena faktor politik (sikap politik terhadap kekuasaan atau entitas politik tertentu) sulit dibantah jika penyelenggaraan pemilu tidak bersih, transparan, dan akuntabel.

Keempat, KPU gagal mewujudkan kepastian hukum dalam proses pemilu 2024, terutama terkait dua hal: satu, penggunaan SIPOL yang tidak memiliki dasar hukum, karena tidak diatur baik di dalam UU 7/2017 tentang Pemilu maupun Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU); kedua, tidak ada kepastian hukum terkait persyaratan berupa lampiran dokumen Surat Domisili dan Surat Pinjam Pakai Kantor yang harus diunggah ke SIPOL. Malahan, dalam kasus ini, KPU pusat dan KPU daerah (provinsi dan kota/kabupaten) berbeda pandangan.

Padahal, salah satu prinsip penyelenggaraan pemilu adalah berkepastian hukum (UU nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu pasal 3 huruf d).
Kesimpulan Pertama, penyelenggaraan pemilu 2024 berpotensi gagal menciptakan partisipasi rakyat yang luas dan inklusif karena menipisnya peluang partai-partai baru.

Kedua, prinsip pemilu yang adil, yang menghendaki perlakuan yang sama bagi semua parpol, tercederai oleh adanya regulasi pemilu bersifat diskriminatif dengan membedakan antara parpol parlemen dan non-parlemen/baru: parpol parlemen hanya diverifikasi dokumen, sedangkan parpol non-parlemen diharuskan verifikasi dokumen dan faktual.
Ketiga, SIPOL sebagai teknologi penunjang utama penyelenggaraan pemilu, terutama pendaftaran dan verifikasi, sangat jauh dari memadai, tidak efisien, tidak efektif, bahkan merugikan parpol.

Keempat, Kegagalan KPU untuk menjalakan kewajibannya, yaitu memutakhirkan data pemilih berkelanjutan dan mensinkronkan data SIPOL dengan data kependudukan (SIAK), menyebabkan banyak data keanggotaan yang diunggah di SIPOL dinyatakan TMS. Dampak dari tindakan tidak profesional KPU ini menyebabkan PRIMA dinyatakan tidak memenuhi syarat dan dieliminasi paksa dari proses pemilu.
Kelima, SIPOL tidak berhasil menciptakan pemilu yang terbuka dan akuntabel.

Untuk itu kami Dewan Pimpinan Wilayah Partai Rakyat Adil Makmur ( PRIMA ) Provinsi Jambi menyatakan sikap :
1.agar proses tahapan Pemilu dihentikan mengingat banyaknya proses dan keputusan KPU yang berpotensi membuat pemilu ini tidak bebas, jujur, dan adil.
(Catatan: tuntutan menghentikan proses pemilu tidak populer di tengah antusiasme massa yang justru ingin menyambut pemilu. Tuntutan yang tidak populer sulit meraih dukungan luas dan melahirkan tekanan politik).

2. mendesak adanya proses audit terhadap KPU sekaligus mendorong transparansi data berdasarkan aturan undang – undang.

3.Meminta DKPP mencopot  komisioner KPU pusat yang tidak Profesional dalam penyelenggaraan verifikasi partai politik.

(*)