SEKATOJAMBI.COM, BUNGO — Langkah tegas kembali diperlihatkan oleh Kapolres Bungo, AKBP Natalina Eko Cahyono, dalam menggempur aktivitas Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) yang telah lama mencemari lingkungan dan menantang supremasi hukum di Kabupaten Bungo.

Operasi yang berlangsung pada Selasa, 20 Mei 2025, menyasar dua kecamatan dengan tingkat kerawanan tinggi: Rimbo Tengah dan Bathin II Babeko, khususnya di Dusun Sungai Buluh dan Dusun Tanjung Menanti.

Di lokasi, polisi tidak hanya menggerebek dan menyita, tapi juga membakar langsung 2 unit rakit dompeng milik para penambang ilegal. 5 unit lainnya dirusak di tempat. Langkah ini menjadi simbol bahwa Polres Bungo tidak akan mentolerir kompromi terhadap perusakan lingkungan.

“Kami tidak hanya menyasar pelaku lapangan, tetapi juga akan menelusuri pemilik lahan dan aktor beking di balik tambang ilegal ini,” tegas Kapolres.

Dalam operasi itu, selain rakit dompeng, turut diamankan:

– 9 unit sepeda motor milik pekerja tambang
– 11 galon solar
– 1 set alat pembakaran emas yang ditemukan di rumah warga bernama Yakub di Dusun Tanjung Menanti

Di lokasi kedua, rumah Amin, warga yang juga diduga terlibat pembakaran emas, petugas tak berhasil menemukan barang bukti karena yang bersangkutan sudah kabur lebih dulu.

Langkah taktis berlanjut. Kapolres Bungo akan mengirimkan surat resmi kepada seluruh camat dan Datuk Rio (kepala dusun) di wilayah rawan PETI.

“Kami beri waktu 7 hari untuk menertibkan wilayah masing-masing. Jika tidak, mereka akan kami panggil dan proses secara hukum,” ancam AKBP Natalina.

Janji “Zero PETI” seringkali terdengar menggema di ruang rapat, namun jarang berpijak di lapangan. Kali ini, AKBP Natalina ingin membalik tafsir itu.

Aksi tegas tersebut menjadi pembuktian bahwa institusi Polri, khususnya Polres Bungo, sedang membangun preseden baru — bahwa hukum tak lagi bisa ditawar oleh solar murahan, dompeng rakitan, atau perlindungan politis setempat.

Operasi ini juga menjadi ujian moral dan legalitas bagi para kepala wilayah tingkat bawah. Apakah mereka sekadar menjadi “penonton” atau bersikap sebagai pelindung warganya dari praktik tambang ilegal?(*)