Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim menggelar diskusi Pojok Iklim pada Rabu (15/2). Mengambil topik pengelolaan multiusaha kehutanan, diskusi ini memotret peluang kebijakan multiusaha kehutanan sebagai inovasi dalam praktik pengelolaan hutan lestari serta sebagai aksi mitigasi perubahan iklim dari sektor kehutanan di Indonesia.

Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim, Sarwono Kusumaatmadja menyampaikan, “Multiusaha kehutanan merupakan salah satu konsep pengelolaan lahan berbasis lanskap yang memiliki peranan dalam mendukung pencapaian Enhanced Nationally Determined Contributions (NDC) dan pemenuhan target Indonesia’s FOLU Net Sink 2030. Sebagai amanat Undang-Undang Cipta Kerja, multiusaha kehutanan dapat diterapkan oleh pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) dalam rangka meningkatkan aktivitas bisnis perusahaan di dalam kawasan hutan.”

Dalam kaitannya sebagai aksi mitigasi perubahan iklim, pendekatan multiusaha kehutanan memiliki pengaruh langsung terhadap pengurangan emisi serta peningkatan serapan karbon dan/atau konservasi cadangan karbon. Oleh karena itu, kebijakan multiusaha kehutanan dinilai dapat mengoptimalkan pemanfaatan areal dalam kawasan hutan yang menjunjung tinggi asas kelestarian.

Direktur Pengendalian Usaha Pemanfaatan Hutan, Khairi Wenda menambahkan bahwa multiusaha kehutanan memiliki beberapa poin besar yang salah satunya adalah peningkatan penutupan lahan yang berfungsi dalam pencapaian Indonesia’s FOLU Net Sink 2030. “PBPH yang diberikan tidak hanya berorientasi pada kayu, namun harus dapat mengoptimalkan seluruh potensi kehutanan. Termasuk pemanfaatan jasa lingkungan hingga hasil hutan bukan kayu,” ujar Wenda.

Rekonfigurasi pengelolaan hutan secara lestari menempatkan hutan sebagai satu kesatuan ekosistem lanskap. Diantaranya meliputi penguatan akses legal kepada masyarakat, persetujuan lingkungan dengan mengedepankan keberlanjutan ekologi, serta peningkatan nilai ekonomi berbasis multiusaha kehutanan.

“Sehingga di dalam implementasi kebijakan pengelolaan hutan lestari, lima pilar harus secara imbang terpenuhi. Diantaranya kepastian kawasan, jaminan berusaha, peningkatan produktivitas hutan, tumbuhnya diversifikasi produk, hingga menghadirkan daya saing hasil hutan Indonesia di tataran internasional,” tambah Wenda.

Wenda menjabarkan bahwa berdasarkan data Kementerian LHK per tanggal 8 September 2022, sebanyak 30 juta hektar kawasan hutan produksi dapat dimanfaatkan untuk multiusaha kehutanan oleh pemegang para PBPH. Tersebar di pulau-pulau besar seperti Sumatera dan Kalimantan, terdapat potensi pemanfaatan multiusaha di Hutan Tanaman Industri (HTI) seluas 11,09 juta hektar, di Hutan Alam (HA/HPH) seluas 18,28 juta hektar dan kawasan Restorasi Ekosistem (RE) seluas 0,6 juta hektar.

“Tentu ini merupakan potensi yang sangat besar dan KLHK mendorong para pemegang perizinan berusaha pemanfaatan hutan untuk segera mengoptimalkan dengan mengedepankan keseimbangan sosial, ekonomi dan ekologi,” tutup Wenda.

Diskusi Pojok Iklim dengan tema optimalisasi pemanfaatan hutan melalui multiusaha kehutanan ini turut menghadirkan Wakil Ketua Umum Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan KADIN Indonesia serta perwakilan PT. Sarmiento Parakantja Timber yang memaparkan praktik-praktik terbaik di tingkat tapak. Diharapkan diskusi Pojok Iklim yang melibatkan akademisi, pakar/pemerhati kebijakan kehutanan, dunia bisnis dan masyarakat ini dapat meningkatkan pemahaman terkait multiusaha kehutanan secara berkelanjutan.