Sekatojambi.com – MERANGIN_SUAP secara harfiah terkait dengan makan. bisa berupa nasi, roti, atau makanan lain. Jadi, suap adalah sejumput nasi atau roti yang dimasukkan ke mulut.
Namun, seiring waktu definisi suap pun meluas. Tak lagi berhubungan makan, tapi justru menyangkut perbuatan kriminal.
Sejak lama, suap sering dianggap sebagai “sesuatu yang lumrah,” bahkan tidak menyalahi aturan. Di Indonesia, hampir-hampir seluruh lini kehidupan bersinggungan dengan suap. Tak memberikan tip kepada petugas demi memperlancar urusan, justru dibilang tidak wajar.
Padahal, pemberi dan penerima suap sama-sama melakukan tindak korupsi. Dalam buku Sosiolog Hukum : Sesuatu Pengantar karya Dr. Baso Madiong disebutkan, suap dianggap sebagai bentuk primitif dan induk korupsi.
Karena sering dianggap wajar dan berlangsung terus-menerus, dalam kepala setiap orang di masyarakat Indonesia, seolah-olah suap adalah hal wajar. Tengok saja, masih banyak anggapan di masyarakat, bahwa melamar PNS, TNI, atau Polri tidak akan lulus jika tanpa suap.
Karenanya, suap kemudian dikenal dengan uang sogok, pelicin, dan banyak istilah lainnya. Suap bisa dilakukan secara langsung atau melalui perantara.
Dalam perkara-perkara suap di Indonesia, jarang transaksi diberikan lewat rekening bank. Seringkali, pemberian dilakukan lewat perantara dan memakai kode atau istilah tertentu.
Definisi suap
Dalam terminologi hukum, suap didefinisikan sebagai “pemberian atau janji kepada seorang penyelenggara negara atau pegawai negeri yang berhubungan dengan jabatannya,” demikian dikutip dalam buku Delik-Delik Korupsi karya Mahrus Ali dan Deni Setya Bagus Yuherawan.
Disebutkan pula, suap disepadankan dengan delik jabatan karena suatu pemberian sesuatu atau janji pasti berhubungan dengan jabatan seseorang.
Jabatan di sini dibatasi hanya pada jabatan publik, dan tidak termasuk jabatan di sektor swasta. “Sesuatu” yang dimaksud yaitu bernilai ekonomi. Disitulah, suap termasuk dalam tindak pidana korupsi.
Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyederhanakan korupsi dalam tujuh kelompok.
Antara lain menyebabkan kerugian negara, suap menyuap, gratifikasi, benturan kepentingan dalam pengadaan barang/jasa, pemerasan, perbuatan curang, dan penggelapan dalam jabatan.
Dari ketujuh kelompok tersebut, pasal suap menyuap paling banyak dibandingkan kelompok lainnya, antara lain Pasal 5 ayat 1 huruf (a), Pasal 5 ayat 1 huruf (b), Pasal 13, Pasal 5 ayat 2, Pasal 12 huruf (a), Pasal 12 huruf (b), Pasal 12 huruf (c), Pasal 12 huruf (d) Pasal 11, Pasal 6 ayat 1 huruf (a), Pasal 6 ayat 1 huruf (b), dan Pasal 6 ayat 2.
Masing-masing pasal memiliki ciri kekhususan, mulai obyek pelaku hingga ancaman hukuman yang diberikan. Menurut Ali dan Yuherawan, setidaknya ada tujuh karakter dari delik suap dalam UU Pemberantasan Tipikor.
Pertama, bertemunya kehendak pemberi dan penerima untuk melakukan suap. Maka, dalam perkara suap baik pemberi dan penerima suap sama-sama dihukum. Kedua, niat jahat untuk melakukan perbuatan terlarang sebelum suap dilakukan.
Ketiga, objek suap adalah hadiah atau janji. Keempat, pemberi suap bisa siapa saja, sedangkan penerima suap adalah penyelenggara negara, pegawai negeri, hakim, dan advokat.
Kelima, suap terkait jabatan penerima suap, yaitu pegawai negeri atau penyelenggara negara. Keenam, dalam delik suap tidak berlaku pembalikan beban pembuktian.
Baik pemberi suap maupun penerima suap tidak berkewajiban untuk membuktikan bahwa hadiah atau janji yang diberikan oleh pemberi suap atau penerima suap tidak ada kaitannya dengan jabatan publik penerima suap.
Yang berkewajiban untuk membuktikan bahwa hadiah atau janji bukanlah suap tetap jaksa penuntut umum. Ketujuh, Operasi Tangkap Tangan dapat terjadi pada delik suap. Faktanya, mayoritas OTT KPK menyangkut perkara suap.
Pegawai negeri
Terkait pegawai negeri ini, pada 27 Juli 2023, Ketua Dewan Pengawas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean saat memberikan materi delik korupsi dalam Pelatihan Penguatan Antikorupsi untuk Penyelenggara Negara Berintegritas (PAKU Integritas) menjelaskan hal ini secara gamblang.
Dalam UU Nomor 31/1999 tidak ada penjelasan tentang pegawai negeri. Namun, penjelasan lengkap disebutkan dalam UU Nomor 28/1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Pada Pasal 1 butir 2 disebutkan bahwa pegawai negeri meliputi (a) pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam UU Kepegawaian, (b) pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam KUHP, dan (c) orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah.
Lalu, (d) orang yg menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau, (e) orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
Menyangkut perkara korupsi, menurut Tumpak, yang dimaksud pegawai negeri adalah, “Semua orang yang mendapat upah atau gaji yang bersumber dari pendapatan negara atau daerah,” ujarnya.
Penyelenggara negara
Adapun menyangkut penyelenggara negara juga dijelaskan dalam Pasal 2 UU Nomor 28/1999. Yang disebut penyelenggara negara, antara lain (a) pejabat negara pada lembaga tertinggi negara, (b) pejabat negara pada lembaga tinggi negara, (c) menteri, (d) gubernur, dan (e) hakim.
Selanjutnya, (f) pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan (g) pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Disebutkan oleh Tumpak yang dimaksud pejabat yang memiliki “fungsi strategis” adalah pejabat yang tugas dan wewenangnya di dalam melakukan penyelenggaraan negara rawan terhadap praktik KKN, meliputi: (a) direksi, komisaris, dan pejabat struktural lain di BUMN/BUMD; (b) pimpinan Bank Indonesia; dan (c) pimpinan perguruan tinggi.
Kemudian, (d) pejabat eselon 1 dan pejabat lain yang disamakan di lingkungan PNS, Polri, dan Militer; (e) jaksa; (f) penyidik; (g) panitera pengadilan; dan (h) pemimpin dan bendahara proyek.
Pembahasan pasal
Dalam pembahasan pasal ini hanya dibatasi pada Pasal 11 dan Pasal 12 huruf (a), huruf (b), huruf (c), dan huruf (d).
Pasal 11
Berdasarkan UU Nomor 31 tahun 1999 jo UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor, pasal ini berbunyi :
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 250 juta. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
Nahhh, dari keterangan suap diatas dapat kita simpulkan bahwa perkara suap sudah menjadi budaya di negara republik ini yang kita cintai ini, namun anehnya pelaku seakan-akan merasa tidak berdosa terkait tindakan nya.
Baru-baru ini, Kabupaten Merangin juga sempat dihebohkan dengan viral nya seorang pengusaha yang telah memberikan uang kepada salah seorang ASN di instansi Dikbud Kabupaten Merangin.
Kabarnya heboh itu di picu, pengusaha itu memberikan uang dengan alasan akan mendapatkan proyek, namun berjalannya Waktu si pengusaha pun tidak mendapatkan proyek.
Merasa kesal dan dirugikan, si pengusaha melaporkan keluhannya ke Polresta Merangin Kabarnya. Namun, entah kenapa lanjutnya, dugaan kasus itu hilang di telan publik, informasi terakhir di dapat pelaku telah berdamai.
Dan uang tersebut informasinya telah di kembalikan kepada pengusaha tersebut, yang menjadi pertanyaan adalah : Apakah itu masuk dalam delik suap..? Jika perkara itu masuk dalam delik suap kenapa dugaan viral ini diam dan hilang.
Untuk mengupas lebih lanjut terkait dengan dugaan kasus viral seorang pengusaha dan oknum ASN di Dikbud Kabupaten Merangin tersebut, baca berita lanjutan yang nanti akan diterbitkan oleh media SEKATO JAMBI.(BR)
Tim Redaksi